Sejarah

Sejarah Pendirian RSJ Bogor

Untuk dapat memenuhi harapan pengabdian dan peningkatan ilmu serta pelayanan di bidang penyakit jiwa, maka berdasarkan surat dinas dari kabinet di Indonesia (ex Nederlands India) kepada inspektur urusan asylum di Negeri Belanda pada bulan September 1865, kemudian disusul dengan laporan menteri penjajahan kepada Ratu tanggal 29 Desember 1865, dikeluarkan suatu Surat Keputusan Kerajaan No. 100 tanggal 20 Desember 1865.

Isi dari SK Kerajaan tersebut adalah menyetujui untuk mendirikan 2 rumah sakit jiwa di Indonesia, namun RSJ yang ke 2 baru dapat dilangsungkan pendiriannya, jika pembangunan RSJ yang pertama selesai. Kemudian agar pelayanan di bidang urusan penyakit jiwa diperbaiki dan ditingkatkan sesuai petunjuk dari inspektur asylum di Negeri Belanda. Tempat-tempat untuk mendirikan RSJ tersebut kelak ditentukan oleh Gubernur Jenderal di Indonesia.

Dengan dasar Surat Keputusan Kerajaan Belanda tertanggal 30 Desember 1865 No. 100 serta Keputusan Gubernur tertanggal 14 Mei 1867 dibangunlah rumah sakit jiwa yang pertama, yaitu Rumah Sakit Jiwa Bogor. Pembangunannya dimulai pada tahun 1876, sedangkan peresmian penggunaannya dilaksanakan pada 1 Juli 1882. Dr. Bauer diangkat menjadi Direktur yang pertama.

Keputusan untuk mendirikan Rumah Sakit Jiwa yang pertama di Indonesia mengalami banyak rintangan, baik dari pihak pemerintahan maupun dari cendekiawan Belanda pada waktu itu, karena pertentangan pendapat, keraguan dalam keberhasilan penyembuhan penyakit jiwa dan keberatan fisik.

 

Hambatan-hambatan Pendirian

Mereka yang menentang pendirian rumah sakit jiwa berpendapat, bahwa para pasien dapat dirawat dalam lingkungan keluarga dan jika mereka perlu perawatan di suatu fasilitas, maka hal itu dapat dilaksanakan dengan memperbaiki dan menyesuaikan rumah-rumah sakit yang sudah ada.

Kelompok lain yang menentang pendirian rumah sakit jiwa berpendapat, bahwa hasil “penyembuhan” penyakit jiwa hanya sekitar 30%, sehingga diragukan kemanfaatan suatu rumah sakit jiwa.

Sementara itu para pasien yang terganggu jiwanya dirawat di rumah-rumah sakit umum atau tentara dan juga di penjara atau kantor polisi. Cara perawatannya lebih bersifat “dikurung dan diasingkan”, karena pasien jiwa dianggap berbahaya untuk sekitar dan dirinya.

Fasilitas perawatan semacam itu dilengkapi dengan jeruji-jeruji besi di setiap kamar/bangsal dan pintu-pintu yang kuat. Tempat penampungan/ perawatan para pasien yang demikian terdapat di Rumah Sakit Cina di Jakarta (ex Batavia) dengan kapasitas 90 di tempat-tempat penampungan pembantu di Semarang dengan kapasitas 105² dan di Surabaya dengan kapasitas 37 tempat tidur³.

Pandangan dan sikap tersebut menyebabkan urusan penyakit jiwa (krankzinnigenwezen) berada di bawah kewenangan dan pengawasan jawatan kesehatan tentara.

 

Keputusan untuk mendirikan Rumah Sakit Jiwa

Adapun pertimbangan untuk mendirikan rumah sakit jiwa berdasarkan :

  1. Sensus tahun 1862 yang walaupun tidak dapat dipercayai sepenuhnya, tetapi memberi suatu kesimpulan, bahwa masih cukup  banyak pasien yang menderita penyakit jiwa berkeliaran di masyarakat.
  2. Laporan dari beberapa pejabat pamongpraja (residen), antara lain dari Jakarta, menunjukkan bahwa penderita gangguan jiwa sejak 1862 telah meningkat pesat, dalam kurun waktu 10 tahun dari 123 pasien menjadi 921 yang dirawat di rumah sakit Cina. Residen Semarang juga mengusulkan untuk meningkatkan kapasitas rumah sakit menjadi 250 tempat tidur.
  3. Bahwa penyakit jiwa dapat disembuhkan, jika diberikan perhatian dan perawatan yang layak.

Untuk maksud pendirian tersebut ditunjuk 2 orang, yaitu :

  1. Dr. F.H. Bauer, seorang psikiater yang memimpin suatu RSJ di Negeri Belanda dan yang dianggap cukup cakap untuk melopori pembangunan RSJ yang pertama di Indonesia.
  2. Dr. W.H. Smit seorang dokter pada Angkatan Laut Belanda yang telah mempunyai pengalaman yang cukup di Indonesia dalam menghadapi kasus-kasus psikiatrik.

Sebelum menjalankan tugas di Indonesia, mereka diberikan kesempatan untuk mengelilingi dan mempelajari R2SJ di Negeri Belanda, Belgia, Jerman, Inggris, dan Perancis di bidang pembangunan, perawatan, pengobatan dan organisasi. Kecuali itu kepada Bauer diberikan tugas khusus untuk mempelajari masalah kependudukan di Indonesia dan kepada Smit untuk memperdalam penyakit jiwa ditinjau dari sudut praktis maupun teoretis.

Dr. A.M. Smit mendapat tugas untuk lebih mempelajari cara-cara perawatan penderita gangguan jiwa dan F.H. Bauer diserahi tugas mempelajari adat istiadat Indonesia (land en volkenkunde). Smit dikirim belajar ke Negeri Belanda dan juga ke beberapa negara lain di Eropa untuk mempelajari perkembangan pelayanan kesehatan jiwa serta kemungkinan penerapannya di Indonesia. Segi-segi hukum pun tidak lupa dipelajari.

Dr.F.H. Bauer dan Dr. A.M. Smit merupakan orang-orang pertama yang mendapat tugas untuk membuat rencana mendirikan rumah sakit jiwa di Jawa. Pada 1868, Bauer dan Smit mencoba memperkirakan jumlah penderita gangguan jiwa di pulau Jawa dan mereka mengemukakan bahwa terdapat sekitar 550 orang. Dari jumlah itu sekitar 300 penderita ditemukan tersebar di berbagai rumah sakit militer maupun penjara dalam keadaan yang sangat menyedihkan.

Atas usul mereka, didirikanlah bangunan tambahan pada rumah sakit tentara pada tahun 1871 untuk dijadikan Bagian Psikiatri dan dipimpin oleh Dr. A.M. Smit sendiri. Penambahan bagian baru rumah sakit tentara di Surabaya dipimpin oleh Dr. Van Deinse. Bauer dan Smit juga mengusulkan untuk mendirikan dua buah rumah sakit jiwa yang baru, yaitu di Bogor dan di Lawang, Malang.

Dibekali dengan ilmu yang dipelajari di Utrecht, Smit yakin rumah sakit jiwa yang dilengkapi dengan tanah yang luas memungkinkan penderitanya bergerak leluasa dan melakukan kegiatan positif, misalnya berkebun. Pada masa itu untuk memasukkan penderita gangguan jiwa ke rumah sakit jiwa harus disertai pengadilan.

Saat Pemerintah Kolonial Belanda berkuasa, instansi yang bertanggung jawab terhadap masalah kesehatan jiwa ditangani oleh Dienst van het Krankzinnigenwezen, yang dipimpin oleh seorang inspecteur Indonesia yaitu R. Tumbelaka yang merupakan orang pertama dan terakhir di masa Kolonial Belanda. Selanjutnya instansi ini ditutup dan digabung dengan unit lain yaitu Dienst van Gezondheid, dimana urusan kesehatan jiwa diserahkan kepada seorang dokter umum yaitu dr. Fischer dan didampingi seorang psikiater yaitu dr. Prins. Pada zaman itu juga terjadi pembagian wewenang, bahwa semua Doorgangshuizen ditangani oleh instansi ini, sedangkan Verpleegte Huizen dan Kolonies dibawah pengawasan provinsi.

Dikemukakan pula suatu pandangan, bahwa penyakit jiwa merupakan suatu bagian khusus dari bidang kesehatan, dan pengetahuan tentang penyakit jiwa di Indonesia adalah minim serta perlu di tingkatkan.

Berdasarkan laporan dari suatu jajahan Inggris dikemukakan, bahwa pengaruh dan campur tangan pihak ketentaraan dalam penanggulangan urusan penyakit jiwa adalah aneh dan menghambat. Sehubungan dengan laporan tersebut, maka dianggap oleh inspektur urusan penyakit jiwa di negeri Belanda, bahwa pengaruh tentara seharusnya dilepas dari urusan penyakit jiwa dan agar urusan ini merupakan bagian tersendiri.

Pada pertengahan Oktober 1866 Bauer dan Smit berangkat menuju Indonesia dan tiba tanggal 4 Februari 1867 di Jakarta. Kedua dokter tersebut kemudian meneliti beberapa kemungkinan lokasi untuk mendirikan 2 RSJ (yang ke 1 terlebih dahulu harus diselesaikan) dengan persyaratan, bahwa lokasi pendirian RSJ harus :

  1. Terletak dekat dengan pusat Pemerintahan di Jakarta.
  2. Dekat dengan jalan Pos.
  3. Harus dapat mampu dan cocok untuk merawat 400 pasien jiwa.

 

Penetapan Lokasi Rumah Sakit Jiwa

Setelah diadakan penyelidikan, maka oleh Bauer dan Smit diusulkan suatu tempat yang berdekatan dengan Kota Bogor dan Malang, juga dengan pertimbangan, bahwa kedua tempat tersebut terkenal dengan hawa yang sejuk. Lokasi yang terpilih di Bogor adalah tanah Bloeboer yang oleh Direktur P & K (ex Onderwijs van Eeredienst en Nijverheid) dapat disetujui. Untuk memantapkan pilihan tersebut Dewan dari Indonesia (Read van Indonesia) mengeluarkan surat dinas tanggal 4 Maret 1866 yang kemudian disusul dengan SK Gubernur Jenderal tgl 14 Mei 1867.

Tanah Bloeboer yang merupakan tanah pemerintah digarap oleh banyak orang partikulir, maka di atas tanah tersebut terdapat sawah, kebun kopi dan coklat (cacao), peternakan sapi, kebun bambu, dll.

Untuk memberikan ganti rugi kepada penggarap tanah diperlukan cukup banyak biaya. Agar dapat menghemat pengeluaran tersebut diputuskan untuk hanya membebaskan tanah seperlunya saja dengan suatu pertimbangan agar tanah itu cukup terlindung dari infiltrasi/ pengintipan masyarakat luar. Dengan demikian, maka dipilihlah lokasi dengan batas alamiah terbentuk oleh kali/ anak kali cisadane dan Cikema. Luas tanah ternyata adalah ± 117 hektar.

 

Proses Pembangunan Rumah Sakit Jiwa Bogor

Sebelum dimulai dengan persiapan-persiapan pembangunan kepada Bauer dan Smit dianjurkan untuk meninjau tempat penampungan di Semarang dan Surabaya untuk mendapat pandangan. Seorang insinyur yang berpengalaman diperbantukan kepada mereka yang menghitung biaya pembangunan dan pelaksanaan teknis RSJ yang dimaksud.

Dalam pembangunan ditekankan, bahwa rumah direktur harus terletak dikompleks RSJ agar mudah dapat melaksanakan pengawasan. Adapun RSJ yang ke 1 ini kelak akan berfungsi sebagai fasilitas penampungan yang sentral (pusat).

Anggaran pembangunan oleh Departemen Keuangan, sedangkan Dep P & K berkewenangan terhadap pengoperasian RSJ dan Departemen P. U. (ex Burgerlijke Openbaro Werken) berkewenangan dalam teknis pembangunannya. Untuk biaya penampungan yang ke 1 mula-mula diperkirakan oleh seorang insinyur akan memerlukan biaya Fl. 1.803.105,- ditambah dengan Fi. 127.203,- untuk pembebasan tanah. Setelah diadakan beberapa perubahan, maka biaya pembangunan menjadi Fi. 1.341.254,- ternyata biaya inipun masih dianggap terlalu tinggi, maka setelah beberapa pertimbangan dan pengelolaan kembali yang memakan cukup banyak waktu akhirnya ditetapkan, bahwa :

  1. Kepada DROSSAERS & Co yang berkedudukan di Jakarta dan yang dianggap merupakan kontraktor yang dapat dipercaya baik dari segi bonafiditas maupun kemampuan teknis, diberikan tugas untuk membangun bagian lelaki yang terdiri dari bagsal kelas I, II, dan gelisah III dan tenang III, serta pendopo , selazar, kamar-kamar kerja dan kamar makan untuk pegawai-pegawai Eropa berikut saluran air. Kontrak ditutup atas dasar pembiayaan FI. 568.561,- dan pembangunan harus diselesaikan dalam waktu 27 bulan.
  2. Untuk pembebasan tanah disediakan biaya sebesar ± FI. 85.000,-
  3. Untuk gaji pegawai RSJ max. FI. 83.712,- /tahun.
  4. Untuk biaya perawatan dan makan FI. 192.709,25,- /tahun.

Tenaga yang dipergunakan dalam pengoperasian RSJ terdiri dari 35 orang Eropa dan 95 pegawai Indonesia dan keturunan Cina. Di antara personil tersebut terdapat 3 dokter yang terdiri dari 2 orang Eropa (dr. Bauer dan Dr. J.W. Hofmann sebagai pembantu dokter ke 1), dan seorang dokter jawa (dr. Semeru). Dengan berdirinya RSJ yang ke 1 itu diperkirakan dapat menghemat biaya eksploitasi perawatan pasien jiwa, karena semua pasien psikiatrik dari rumah sakit Cina di Jakarta dan sebagian besar dari pasien di tempat penampungan pembantu di Semarang dapat dipindahkan ke RSJ Bogor.

Berdasarkan pengamatan R2SJ di Eropa oleh Bauer dan Smit dipikirkan pula pengadaan taman, halaman dan tanah pertanian di samping pembangunan RSJ Bogor. Kebanyakan bangsal pasien jiwa yang akan dibangun masih dilengkapi dengan jeruji besi yang kuat. Kelak ternyata, bahwa cara perawatan pada waktu itu adalah kustodial, yaitu sebagai tempat penampungan dan isolasi, tanpa mengutamakan penyaluran dan pembinaan daya penyesuaian pasien di masyarakat.

Setelah segala pekerjaan selesai dikerjakan oleh Drossaers & Co, maka oleh Direktur P & K penggunaan RSJ Bogor (ex Krankzinnigengesticht te Buitenzorg) diresmikan tanggal 1 Juli 1882. Pada taraf pertama RSJ Bogor hanya dapat dihuni oleh pasien laki-laki.

Perluasan RSJ Bogor untuk bagian wanita dilakukan oleh arsitek Ch. A. De Leau atas dasar surat perjanjian tertanggal 28 November 1895 dengan biaya FI. 118.633,²

 

Riwayat RSJ Bogor Setelah Pendiriannya

Sebuah peristiwa yang cukup penting dalam sejarah psikiatri di Indonesia, adalah kedatangan Eil Kraepelin pada tahun 1904. Ia tinggal selama 3 minggu di RS Jiwa Buitenzorg (Bogor). Pada waktu itu beliau dianggap sebagai seorang tokoh dunia, sekaligus peneliti yang mulai membedakan antara dementia praecox yang kemudian dikenal sebagai skizofrenia dan gangguan manik-depresif yang selanjutnya dikenal sebagai gangguan bipolar.

Kraepelin memusatkan observasinya pada perbedaan gejala dan prevalensi orang Eropa dan pribumi. Kesimpulan yang dikemukakan sangat berpengaruh pada cara berfikir psikiater dan bahkan menjadi cikal bakal berkembangnya studi mengenai pengaruh kebudayaan pada kesehatan jiwa seseorang. Belakangan ilmu itu dikenal sebagai Transcultural Psychiatry. Salah satu penemuannya adalah bahwa prognosis gangguan jiwa pada pribumi lebih baik daripada mereka yang mempunyai latar belakang Eropa.

Pandangan Kraepelin banyak mempengaruhi cara psikiater Belanda memandang psikatri dan kemudian mendorong mereka untuk banyak menulis mengenai sindroma kejiwaan yang dianggap spesifik dengan kebudayaan setempat. Misalnya amok, latah, dan koro. Hal ini masih terlihat dalam klasifikasi gangguan jiwa internasional dan tercatat sebagai culture bound syndromes (gangguan jiwa terkait budaya).

Kapasitas 400 ternyata tidak cukup, karena dari tahun ke tahun jumlah pasien yang dirawat terus meningkat dan pernah mencapai suatu angka 2203 tepat sebelum 1942 pada masa Perang Dunia ke II.

Dalam periode 1942-1945 RSJ Bogor sebagian dipakai untuk penampungan tentara Jepang dan sebagian lain untuk tempat karantina penyakit menular. Banyak gedung yang rusak dalam periode itu.

Dalam periode 1945-1950, periode revolusi physik dalam mempertahankan kemerdekaan tidak banyak perhatian dapat diberikan terhadap nasib RSJ Bogor.

Antara 1950-1969 hanya sedikit sekali perbaikan gedung dapat dilaksanakan, bahkan proses pengrusakan berjalan lebih cepat dari pada perbaikannya. Barulah pada periode Repelita sedikit demi sedikit terjadi perbaikan dan perubahan gedung-gedung/ bangsal-bangsal yang cukup berarti.

Jumlah luas bangunan RSJ Bogor saat ini adalah sebagai berikut :

  1. Luas bangsal dan kantor adalah 21.656,75 m².
  2. Rumah Dinas 11.455,25 m².

Tanah RSJ Bogor yang sudah disertifikatkan adalah 61,6320 hektar, sedangkan yang dikuasai oleh Pemerintah Daerah adalah 56 hektar, Hasil pengukuran tanah RSJ Bogor yang terakhir menunjukkan, bahwa luas tanah de fakto adalah 133,5601 hektar.

Perkembangan pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia mengikuti perkembangan yang ada di Eropa pada umumnya, khususnya Belanda. Di negeri kincir angin itu sendiri bidang ilmu kesehatan jiwa mengalami reformasi pada abad ke-19, persisnya pada tahun 1830. Sekitar tiga dekade kemudian, reformasi itu akhirnya berimbas pada daerah atau wilayah jajahan Belanda, termasuk Indonesia.

Namun jangan berharap pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia pada masa itu sudah “semaju” di Eropa. Pengobatan atau perawatan terhadap penderita gangguan jiwa diberikan apa adanya. Hal yang paling marak terjadi saat itu adalah pemasungan atau isolasi, yang dianggap sebagai salah satu upaya yang mumpuni guna “merawat” penderita gangguan jiwa. Tujuannya sangat sederhana, yaitu supaya penderita gangguan jiwa tidak mengganggu lingkungan sosial atau masyarakat sekitar.

Kondisi ini bisa dipahami mengingat informasi dan sosialisasi akan pentingnya kesehatan jiwa sangat minim., terutama karena kurangnya sarana rumah sakit jiwa, tenaga medis, dan psikiater pada masa itu. Adanya perbedaan wilayah, budaya dan bahasa tentunya juga sangat mempengaruhi upaya pemerintahan Hindia Belanda dalam menanggulangi gangguan jiwa yang mulai tumbuh subur di negeri jajahannya, Indonesia.

 

Resolusi 21 Mei 1831, Tonggak Pertama Layanan Kesehatan Jiwa

Kondisi itu terus berlangsung hingga akhirnya pada 21 Mei 1831 Pemerintah Hindia Belanda membuat sebuah resolusi yang dianggap cukup berpengaruh pada proses transformasi layanan kesehatan jiwa di Indonesia. Dalam resolusi 21 Mei 1831 No. 1 Pasal 1 disebutkan bahwa “setiap rumah sakit besar di Weltevreden (Jakarta), Semarang, dan Surabaya akan disediakan kamar untuk merawat penderita gangguan jiwa”.

Mulai saat itu beberapa rumah sakit besar menyediakan layanan kesehatan jiwa. Pada 1848, Rumah Sakit Tentara di Semarang membangun bangsal khusus untuk penderita gangguan jiwa dengan lebih mengutamakan metode ilmiah dalam perawatannya. Di Semarang, di kawasan Peterongan, serta di Jakarta, juga didirikan Rumah Sakit Cina yang menampung penderita gangguan jiwa, terutama untuk mereka yang berasal dari etnis tionghoa.

Namun penderita gangguan jiwa terus bertambah. Atas dasar itulah pemerintah Hindia Belanda kembali membangun beberapa rumah sakit lainnya. Rencananya, rumah sakit jiwa akan dibangun di atas sebidang lahan luas yang jauh dari keramaian. Tujuannya tidak semata demi keamanan dan kenyamanan masyarakat sekitar, tapi juga diharapkan bida menjadi tempat terapi bagi para penderita untuk bebas melakukan aktivitasnya seperti berkebun atau bercocok tanam. Namun sayangnya, lantaran biaya yang tidak sedikit, akhirnya pemerintah urung membangun rumah sakit khusus gangguan jiwa. Sebagai gantinya, di Surabaya, dibangunlah sebuah rumah sakit umum, dengan menyediakan bangsal khusus bagi penderita gangguan jiwa.

Bahkan pernah pula terlontar usulan untuk mendatangkan seorang dokter dari Belanda yang memperdalam psikiatri. Di kemudian hari, psikiater Belanda tersebut dapat mengembangkan pengetahuannya sesuai dengan bahasa serta kebudayaan yang ada di Indonesia. Pada masa itu, Pemerintah Kolonial Belanda mendirikan suatu rumah sakit jiwa di sekitar Semarang, dengan kapasitas 800 tempat tidur, disamping sistem koloni seperti di Gheel dalam ukuran kecil yang berperan sebagai rumah sakit jiwa pembantu (hulpgesticht).

 

RSJ Bogor, Rumah Sakit Jiwa yang Pertama

Seiring dengan perjalan waktu, Rumah Sakit jiwa Lawang didirikan pada 1889 sebagai rumah sakit jiwa kedua yang dibuka secara resmi pada 23 Juni 1902. Selanjutnya dibuka kembali dua rumah sakit jiwa, yaitu Magelang dan Sabang pada 1923.

Selain pengadaan fasilitas rumah sakit jiwa, dalam pelayanan kesehatan jiwa didirikan pula doorgangshuizen atau rawat perantara, verpleegtehuizen atau rumah rawat inap gangguan jiwa, dan colonie atau penampungan penderita gangguan jiwa kronik. Fakta tersebut diuraikan oleh Dr. R.J. Prins dalam De Krankzinnigenverzorging in Nederland Indie Gedurende de Laatste Vijf en Twintig jaar, 1936 (Perawatan Penderita Gangguan Jiwa di Hindia Belanda dalam kurun waktu 25 Tahun terakhir). Doorgangshuiz di Solo dibuka pada tahun 1919, Grogol Jakarta 1924, di Semarang dan Surabaya didirikan tahun 1929, sementara di luar jawa juga didirikan doorgangshuizen.

Doorganghuiz mempunyai fungsi sebagai tempat perawatan akut, yang diharapkan tidak lebih dari 6 bulan, sambil menunggu kelengkapan surat-surat penderita untuk memenuhi perawatan masuk rumah sakit jiwa, yaitu antara lain dari pemerintah setempat dan pengadilan. Namun, ada hambatan-hambatan untuk mengirim penderita ke rumah sakit jiwa sehingga doorgangshuizen pun menjadi penuh.

Sejak 1903 dikenal gezinsverpleging di Bogor, yaitu upaya menitipkan penderita gangguan jiwa pada keluarga perawat rumah sakit jiwa. Tetapi ternyata kebijakan ini mengalami banyak kelemahan, antara lain perawatan yang kurang baik, bahkan terjadi pemerasan dan penelantaran penderita. Itulah sebabnya, pada 1925 oleh Dr. Travaglino gezinsverpleging ini ditiadakan.

Untuk menyalurkan penderita-penderita gangguan jiwa ringan dan tenang dari rumah sakit jiwa, pada 1919 Travaglino merencakan mendirikan koloni pertanian dan tempat-tempat kerja bagi mereka. Sayang, rencana tersebut tidak terlaksana karena pemerintah lebih mengutamakan pendirian doorgangshuizen dan verpleegtehuizen. Penderita gangguan jiwa dari luar jawa dikirim dan dirawat di Pulau Jawa.

Menyadari hal tersebut, Prof. Van Wulffen Palthe (selaku kepala Bagian Psikiatri CBZ sekarang RSCM) berinisiatif mengadakan koloni swasta yang pertama di Lenteng Agung pada 1935, yang antara lain mendapatkan bantuan dari berbagai perkebunan. Yang mengelola koloni tersebut adalah dr. Soejoenoes. Di situpun diterapkan gezinsverpleging dan upaya ini berhasil.

Rumah Sakit Jiwa terus dibangun antara lain di Cisarua, Bandung, Magelang, Solo dan di luar jawa, antara lain di Makassar, Manado, Medan, Sabang dan di Padang. Juga terdapat rumah perawatan gangguan jiwa (verpleegtehuizen) antara lain di Bangli (Bali), Muntok (Bangka), Banjarmasin, Pontianak dan di Samarinda. Bahkan veropleegtehuizen direncanakan dipimpin seorang mantri (verpleegster) atau dokter pribumi.

Bagi penderita gangguan jiwa yang sulit sembuh dialihkan perawatannya dalam koloni orang gangguan jiwa, yaitu Petengahan di Singkawang, Tamban di Banjarmasin, Soblimbing di Kotabaru, Pakem di Jogjakarta, Kubu di Bangli, dan Praya di Lombok.

Sesuai dengan perkembangan Psikiatri di luar negeri  pada masa itu, yaitu di Eropa dan Amerika Serikat, kecenderungan jumlah penderita yang dirawat di rumah sakit jiwa kian meningkat. Tenaga dokter, terutama dokter jiwa, dirasakan tidak mencukupi. Maka, Dr. Theunissen di Lawang, Malang dan Dr. Travaglino di Bogor mulai mendidik perawat jiwa.

Namun, menurut dr. Latumeten, psikiater Indonesia pertama (1928), kebanyakan penderita gangguan jiwa tidak mendapatkan perawatan yang layak. Parahnya lagi, orang-orang pribumi yang dianggap menderita gangguan jiwa banyak yang dibiarkan dipasung. Sedangkan bagian psikiatri di rumah sakit umum yang ada pada saat itu, ternyata lebih diperuntukkan bagi orang-orang Eropa saja.

 

Masa Penjajahan Jepang

Dalam kurun 1942-1945, yaitu saat berkecamuknya perang Asia Timur Raya, Indonesia berada dalam masa pendudukan bala tentara Jepang. Kala itu jumlah penderita gangguan jiwa yang dirawat banyak berkurang. Ini bukan berarti banyak yang sembuh dari gangguan jiwa, tapi lebih karena sangat buruknya perawatan mereka. Kekurangan biaya untuk makan dan obat-obatan menyebabkan meningkatnya angka kematian di kalangan penghuni RSJ. Akibatnya jumlah penghuni RSJ menurun tajam pada tahun 1944.

Tidak hanya sampai di situ, penderitaan para penghuni RSJ semakin berat karena kedatangan pasukan Jepang “memaksa” mereka hengkang dari RSJ. Tentara dari negeri Matahari Terbit itu membutuhkan gedung-gedung besar yang kokoh dan bisa diperoleh secara cepat, maka pilihan jatuh pada rumah-rumah sakit jiwa. Banyak penderita dilepaskan begitu saja atau di kelompokkan menjadi satu di wilayah tertentu. Pengelompokkan ini menyebabkan ditemukannya penderita gangguan jiwa asal Indonesia di Malaya (sekarang Malaysia) atau Filipina. Di Bangli, bali pernah ditemukan penderita gangguan jiwa dari Burma (sekarang Mianmar).

Karena itulah ketika tentara sekutu melakukan serangan udara untuk menaklukkan pasukan Jepang, banyak rumah sakit jiwa menjadi sasaran, Rumah Sakit Jiwa Sabang yang pernah mempunyai 1.300 tempat tidur, hancur total karena dibombardir pasukan udara sekutu.

 

Pusat Kesehatan Jiwa Nasional

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/741/2022, RSJ dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor saat ini menyandang status sebagai Pusat Kesehatan Jiwa Nasional. RSJMM menjadi pusat rujukan nasional untuk semua penyakit yang berhubungan dengan kejiwaan. Selain itu, RSJMM juga memiliki fasilitas, infrastruktur, dan sumber daya manusia yang memadai untuk melaksanakan pelayanan kesehatan jiwa secara komprehensif. Saat ini, selain memberikan layanan kesehatan jiwa, PKJN RSJMM Bogor juga menyediakan layanan nonjiwa seperti Klinik Penyakit Dalam, Klinik Paru, Klinik Jantung, Klinik Anak, Poliklinik Gigi dan Mulut, Klinik THT, dll.